Monday 16 December 2013

I Love Paris



Bonjour Paris!
Oleh Maulidya Permata Nusantari
………
When will you come here?
We will wait you my dear, Marsha and Elizabell Mouren.
With love your grand ma,
Carolline
Angin menyelinap malu-malu mendekatiku, menyibakkan beberapa helai rambutku yang sengaja terurai. Meraba lembut pipiku, dingin, menggugah anganku yang jauh melambung tinggi.
Ddddrrrrrrtttt…. Drrrtttt…… getaran ponselku mengusik lamunanku.
“Marsha memanggil?” pikirku dalam hati, “Ya ampun, hari ini kan jadwal buat jemput dia di bandara. OMG dia pasti marah, haduh telat ini. Huffttt….” 
Aku mengabaikan panggilan itu, sudah kupastikan Marsha pasti akan marah besar. Kulirik jam dinding klasik di sudut kamar menunjukkan tepat pukul 7 malam. Bergegas aku mengambil kunci mobil yang tergeletak di meja. Kemudian aku berlalu dengan sedan tua peninggalan almarhum Daddy.
            Arah tujuanku adalah Bandara Soekarno-Hatta. Tak jauh dari tempat parkir mobil, kutemukan seseorang yang kucari. Perempuan muda, cantik, dan terlihat anggun mengenakan blazer merah dan bersyal merah menatapku melotot. Segera kudekati perempuan itu.
“Satu jam empat puluh lima menit! Hampir dua jam. You know?” dia mengomel.
“Maaf, Sha. Penyakit lupa. Hahaha…” aku mencubit lengan perempuan itu.
Dia menghela napas lega, kemudian meluncurkan senyuman manisnya padaku. Aku membalas senyumnya dan membantunya membawa koper sampai ke mobil.
            Sesampainya di rumah aku segera beranjak ke kamar. Entah mengapa, aku selalu benci saat dia pulang, aku benci saat dia bercerita dengan Bunda. Selalu dia yang dinomor satukan, selalu dia yang diceritakan, jujur terkadang aku muak dengannya. Manja, itu yang sering kusebut untuknya. Tapi Tuhan telah menakdirkan ini padaku. Dialah kakakku, saudara kandungku, bagaimanapun juga dia adalah bagian hidupku. Sejak kecil Bunda selalu lebih memanjakannya daripada aku, barangkali karena dia lebih cantik atau dia pintar, sedangkan aku…
Aku tidak jelek, aku juga cantik, bahkan wajah kami berdua nyaris mirip, hanya rambut yang membedakan kami. Dia berambut setipe dengan Avrill Lavigne lurus dan berwarna pirang sedangkan aku memiliki rambut setipe dengan Selena Gomes sedikit mengombak dan berwarna hitam. Terdapat gen Eropa dalam tubuh kami. Daddy kami berdarah Perancis.
            Sejak kecil aku lebih suka menghabiskan waktuku bersama Daddy, kupikir hanya Daddylah yang mengerti aku, tak pernah membandingkan antara aku dan Marsha. Akulah Elizabell Mouren, dan dialah Marsha Mouren.
            Aku merasa mulai lelah, jam dinding klasik disudut sana menunjuk pada pukul 1 dini hari. Kututup lembaran-lembaran kertas penuh coretan hasil karyaku. Setelah aku menata rapi buku-bukuku, segera kurebahkan tubuh ini di tempat tidur hingga akhirnya aku terjebak dalam mimpi indahku…
***
“Bell…. Bell…Elizabell bangunlah…!” kudengar sayup-sayup suara Marsha memanggilku, “Look at this! It’s a nice picture…”
Kupaksakan diri untuk membuka mataku yang masih mengantuk, “Oh itu”, jawabku malas.
“It’s Europa! Rumah kita benar-benar klasik.” Marsha mengarahkan jari telunjuknya pada sebuah jendela yang terletak tepat di bawah atap, “Disinilah Daddy sering menghabiskan waktunya, disinilah sekarang kita berada. …..”
            Aku malas menanggapi semua celotehan Marsha, aku menggapnya itu semua omong kosong. Dia tak tahu apa-apa tentang Daddy! Jadi kupikir munafik jika dia bercerita sesuatu yang menyangkut Daddy. 
“Trip to Paris?”
Hatiku bergetar mendengar apa yang baru saja Marsha katakan. Aku langsung sigap terbangun dari kemalasanku, kutarik album foto itu dari pangkuan Marsha.
“Oh… Cuma iseng aja, Sha.” Aku menggaruk-garuk kepala, “Aku nemuin itu pas lagi beres-beres ruangan ini, dulu sebelum aku mengubahnya menjadi kamar. Mungkin tiket itu milik Daddy, aku menemukannya di sela-sela salah satu novel karya Daddy yang berjudul Caroline. Aku tidak hanya menemukan tiket pesawat ini saja, beberapa coretan tangan Daddy juga kutemukan disini.”
Caroline? Novel Daddy yang tokohnya seorang wanita berdarah Perancis itu? Ah aku tidak yakin itu benar, aku tidak begitu hafal dengan semua novel karya Daddy.” Balasnya ragu.
Aku mengangguk.
Pagi telah menyapaku. Rencananya siang nanti aku akan menemui editor dari sebuah agen penerbit yang akan menerbitkan novelku. Masih dengan keadaan mengunyah roti tawar dengan parutan keju, satu persatu kumasukkan data-data yang kubutuhkan ke dalam tas pink favoritku. Aku menelusuri album foto dirak buku untuk menunjukkan beberapa foto yang ingin aku tunjukan pada Marsha yang saat itu masih berada di kamarku.
“Pasti Daddy bangga dengannmu.” kata Marsha sambil terus membolak-balik foto-foto itu.
Aku tersenyum.
“Apa ini, Bell?” Marsha mengambil amplop coklat yang terselip diantara foto-foto itu.
Aku bergegas melangkah mendekatinya, langsung kutarik amplop itu dari genggamannya. Aku tidak akan membiarkan dia tahu apa isi amplop ini, “Oh ini, cuma surat pemberitahuan dari kampusku, Sha.”
Marsha memandangku curiga, segera kusodorkan beberapa album foto padanya untuk membuatnya lupa dengan kecurigaannya.
***
            Kulirik arloji yang melekat di tangan kiriku, jarum pendek menunjuk angka 11 dan jarum panjang menunjuk angka 6. Satu jam lagi aku baru akan menemui editor novelku. Kurasa aku memiliki cukup waktu untuk menemui dosen pembimbingku.
            Aku kuliah di Universitas Indonesia mengambil jurusan Ekonomi. Sangat melenceng dengan hobiku, menulis dan fotografer. Tapi itu bukan masalah bagiku, buktinya novelis terkenal Andrea Hirata, bukankan dia dulu juga seorang mahasiswa Ekonomi di Sourbonne University di Perancis? Jadi kupikir mengapa tidak bagiku. Sejak kecil aku sudah dapat dengan mudah membedakan antara hobi dan cita-cita. Cita-citaku ingin seperti Sri Mulyani, dikenal dunia sebagai ahli ekonomi. Tapi saat ini aku mempunyai sebuah cita-cita yang harus kucapai secepatnya.
            Setelah beres dengan urusan kuliahku, aku bergegas menemui editor novelku di tempat yang sudah kami berdua janjikan. Rupanya aku terlambat lima belas menit.
“Hai Bell… Congratulation! Kali ini novelmu best seller lagi.” Mbak Merry menjabat tanganku.
“Semoga novel terakhirku juga laris ya mbak.” kataku penuh keyakinan.
“Terakhir?” tanyanya bingung, “Jadi, kamu jadi pergi ke Paris?”
“Why not?” aku tersenyum lepas, “Itu cita-citaku saat ini mbak, secepatnya aku harus ke Paris. Kurasa aku sudah mempunyai cukup uang untuk pergi ke sana. Aku sudah mengatur paspor dan tiket pesawatku.”
“Lalu kamu akan menetap disana? Bagaimana dengan para fans yang menunggu karya-karya terbarumu? Dan bagaimana dengan….”
“Aku tidak akan lama disana mbak.” aku menyela pembicaraan mbak Merry yang mulai paranoid.
Mbak Merry tersenyum lega. 
***
            Sore ini rumah terlihat sepi. Aku tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Bunda dan Marsha. Aku sedikit acuh dengan keberadaan mereka berdua. Kupijaki tangga menuju kamar, rasanya ingin segera merebahkan tubuh ini. Kubuka pintu kamar cepat-cepat hingga terdengar suara pintu yang terbanting secara tidak sengaja.
“Bunda? Marsha?” sontak aku kaget dengan keberadaan mereka berdua di kamarku.
Oh Tuhan, bodohnya aku! Seharusnya aku mengunci pintu kamarku. Marsha mempunyai sifat kelewat penasaran dengan sesuatu yang kusembunyikan. Aku tak mau mereka tahu….
Marsha mendekatiku, “Apa ini Bell?”
Aku menunduk takut, kulirik mata Bunda yang mengisyaratkan rasa keingin tahuan. Leherku seperti tercekik.
“Elizabell!! Apa ini?” Marsha menyodorkan amplop coklat tua yang selalu kuhindarkan dari pandangannya.
“Jelaskan semuanya sama aku!” Marsha membentak.
“Aku tak tahu harus menjelaskannya dari mana.” Aku tertunduk, air mataku menetes, bayangan Daddy terlintas di pikiranku, “Ini rahasia Daddy. Ini semua tentang siapa Daddy sebenarnya. Bunda, sebenarnya Daddy masih mempunyai keluarga. Hingga saat ini ibu Daddy masih hidup. Dialah Carolline. Bunda, maafkan Daddy yang tidak bisa membawa kita semua bertemu dengan Carolline. Bukan maksud Daddy membohongi Bunda. Bunda tahu kan, keluarga kita pernah mengalami krisis ekonomi. Saat Daddy mulai sakit-sakitan, buku-buku Daddy mulai tidak laku di pasaran. Sebenarnya keinginan terakhir Daddy adalah membawa kita semua ke Paris untuk menemui Carolline. Surat ini, surat yang dikirimnya 5 tahun yang lalu sesudah Daddy meninggal. Oma pikir Daddy masih hidup.”
Marsha memandangiku dengan tatapan penuh tanda tanya. Bunda menangis, dan tanpa kusadari aku juga meneteskan air mata.
“Lalu kenapa? Kenapa kamu tidak memberitahukan ini padaku sejak dulu? Hah kenpa Bell!?” Marsha menggoyang-goyangkan tubuhku.
“Aku membencimu Sha! Aku membencimu! Kau egois! Apakah setelah aku memberitahukan surat ini padamu kamu akan mengajakku dan Bunda pergi ke Paris? Tidak kan? Pasti dengan keegoisanmu kamu akan pergi kesana sendiri.” Kutatap mata Marsha, “Apa kamu tahu? Selama tiga tahun ini susah payah aku mengumpulkan uang untuk membeli tiket pesawat ke Paris. Aku ingin kita bersama-sama kesana! Itu cita-citaku saat ini!”
Bunda mendekap erat tubuhku.
“Aku sudah membeli tiga tiket pesawat ke Paris. Minggu depan sebelum tahun baru kita akan terbang kesana.” kataku dengan suara yang mulai serak.
“Ta… tapi, minggu depan aku akan mengadakan upacara kelulusanku di Australia. Dan aku ingin Bunda menemani wisudaku.” kata Marsha lirih.
Aku lemas, sendi-sendi lututku terasa tak berguna, aku berlutut diantara mereka berdua, “Beginikah caramu menyakitiku!? Menghancurkan mimpiku!? Merusak warisan Daddy?”
“Maafkan aku, aku juga telah memesan tiket penerbangan ke Melbourne minggu depan.” Kata Marsha tanpa merasa sedikitpun bersalah.
“Kau memang egois Sha!” aku mendorong tubuhnya keluar dari kamarku.
“Sayang, maafkan sikap kakakmu.” kata Bunda sambil membelai rambutku, “Bagaimana jika di batalkan saja penerbanganmu ke Paris, kita tunda setelah upacara kelulusan Marsha.”
“Aku tidak bisa. Ini cita-citaku! Aku harus pergi kesana menemui keluarga Daddy. Aku tak mungkin menunda keberangkatanku! Aku sudah mengirimkan surat kepada mereka. Mana mungkin aku rela mengubur mimpi ini?” jawabku dengan suara yang hampir habis.
Bunda terdiam. Dia mengusap air mata yang membasahi pipiku, kemudian berlalu meninggalkanku sendiri. Mimpi buruk untukku kejadian sore ini!
***
Seminggu kemudian…
“Elizabell, maafkan aku.” kata Marsha lirih.
Aku mengangguk, kudekati Bunda. Memeluk tubuh Bunda dari belakang. Lima belas menit lagi kami akan berpisah. Aku memutuskan untuk tetap pada pendirianku. Aku akan pergi ke Paris tanpa Bunda dan tentunya juga Marsha. Kurelakan Bunda menemani upacara kelulusannya. Keadaan hening. Keheningan kami terpecah oleh suara operator yang mengingatkan para penumpang bahwa pesawat penerbangan dengan tujuan Paris akan segera take off.
“Jaga dirimu baik-baik ya nak, telpon Bunda sesampainya kamu disana. Sampaikan salam Bunda kepada mereka semua.” sorot mata Bunda menyiratkan keyakinan padaku.
“Bun, aku harus segera pergi.” aku mencium tangan bunda.
Bunda mengecup kedua pipiku, “Jaga dirimu baik-baik ya nak, telpon Bunda sesampainya kamu disana. Sampaikan salam Bunda kepada mereka semua.” sorot mata Bunda menyiratkan keyakinan padaku.”
Kumelangkah mendekati Marsha, “Congratulation of your graduated, Sha.”
Marsha memeluk erat tubuhku. Kulepaskan pelukannya perlahan.
            Aku berjalan menjauhi mereka. Kulambaikan kedua tanganku pada Bunda dan Marsha. Syal putih yang melilit di leherku melambai-lambai bahagia. Setelah melewati garbarata atau lebih sering dikenal airbridge, aku mencari tempat dimana aku duduk. Jantungku berdebar kencang saat pesawat mulai melaju di landasan pacu untuk bersiap take off. Tepat pukul 6 pagi aku meninggalkan Jakarta, meninggalkan Bunda dan Marsha, untuk menyambut harapan Daddy. Sebentar lagi cita-citaku akan terwujud.
Aku duduk disamping seorang lelaki muda yang ternyata dia seorang mahasiswa Sourbonne University di Paris. Kebetulan bagiku, aku bisa menanyakan banyak hal padanya. Dan ternyata dia sendiri yang menawarkan padaku untuk menjadi guide tourku. Siapa yang bisa menolak mendapatkan guide tour gratis, pikirku. Kita berdua melakukan kesepakatan. Tidak ada non-stop flight ke Paris, jadi kami akan transit dahulu, jelasnya. Dari pesawat Garuda kami harus transit di Singapore kemudian menaiki pesawat Lufthansa. 

“Normalnya perjalanan ke Paris sekitar 16-20 jam. Bersiaplah bermalas-malasan di pesawat. Hehe…” kata lelaki muda itu padaku sesaat setelah kami transit di maskapai penerbangan Lufthansa.
***
Pukul 10 malam pesawat kami landing di salah satu bandara di Paris. Perjalanan kami termasuk cepat. Malam ini Paris masih belum tidur. Setelah keluar dari bandara, Mario, lelaki muda itu menawariku untuk mencari penginapan terlebih dahulu. Besok baru dia mengantarkanku mencari rumah Carolline. Tapi aku menolak usul Rio, dia tak marah padaku, malah dengan senang hati dia mengantarkanku mencari alamat Carolline. Ternyata berdasarkan alamat yang kumiliki menunjukkan rumah Carolline tidak begitu jauh dari Sourbonne University.
Tepat di depan sebuah rumah besar, dengan bangunan klasik, hampir mirip dengan desain rumahku, dia mengajakku menghentikan langkah. Dia meyakinkanku bahwa rumah klasik di hadapan kami inilah rumah Carolline. Awalnya kaki ini ragu untuk melangkah lebih dekat dengan rumah tua itu, tapi Mario terus mendesakku sehingga membuatku yakin.
Aku mengetuk pintu itu perlahan dengan tangan mungilku. Seorang gadis kecil membuka pintu, dan di belakangnya diikuti dengan seseorang wanita tua.
 “Hello, I’m Elizabell Mouren.” Aku menyambut gadis kecil itu dengan senyuman.
“Mouren?” dia memandangku aneh, “Grand ma, who is she?”
Seorang nenek kini datang mendekatiku, “Elizabell Mouren… Bienvenue1....” Dia memelukku, membelai rambutku, dan mencium pipiku. Dia, tak kusangka dengan mudah aku dapat menemukannya. Dia yang selama ini menjadi cita-citaku, dialah yang dijanjikan Daddy, Carolline, nenekku…
            Kuceritakan semua perjuanganku dan niatku untuk menemui mereka dengan bantuan Mario. Semua orang yang mendengar ceritaku menyambut kedatanganku dengan ramah. Banyak orang baru yang kutemui disini. Ada seorang lelaki yang wajahnya mirip dengan Daddy, dia adalah Franc Mouren, adik Daddy dan ayah dari gadis kecil itu. Mereka menunggu kedatanganku. Dan sekarang benar-benar tak kusangka aku ada bersama mereka.
            Malam telah larut, Mario pamit untuk kembali ke asramanya. Malam ini aku tidur bersama Rachel, gadis kecil itu.
***
            Kamar Rachel berada di bawah atap persis seperti kamarku. Kubuka jendela kamar. Kubiarkan embun pagi menyentuh pipiku perlahan. Hangat. Kulihat Rachel masih tertidur pulas dibalik selimut tebal. Dari jendela ini aku dapat melihat ujung menara Eiffel. Aku tersenyum lebar….
Aku ingin berteriak sekuat tenaga dengan senyuman termanisku.
Untuk mimpiku yang akhirnya terwujud “Bonjour2 Paris….!”  
Tamat

1 Bienvenue = selamat datang
2 Bonjour = selamat pagi

No comments:

Post a Comment