Pelangi adalah gejala optik dan meteorologi berupa cahaya beraneka warna saling sejajar yang tampak di langit atau medium lainnya.
Pelangi hanya dapat dilihat saat hujan bersamaan dengan matahari
bersinar, dari sisi yang berlawanan dengan pengamat. Posisi pengamat harus berada di antara matahari dan tetesan air dengan matahari
di belakang orang tersebut. Matahari, mata si pengamat, dan pusat busur
pelangi harus berada dalam satu garis lurus.
Pecinta hujan, penanti pelangi, pengagum city lights view. Welcome to Lidya's blog~
Tuesday, 17 December 2013
Monday, 16 December 2013
I Love Paris
Bonjour
Paris!
Oleh
Maulidya Permata Nusantari
………
When will
you come here?
We will
wait you my dear, Marsha and Elizabell Mouren.
With love your grand ma,
Carolline
Angin
menyelinap malu-malu mendekatiku, menyibakkan beberapa helai rambutku yang
sengaja terurai. Meraba lembut pipiku, dingin, menggugah anganku yang jauh
melambung tinggi.
Ddddrrrrrrtttt….
Drrrtttt…… getaran ponselku mengusik lamunanku.
“Marsha
memanggil?” pikirku dalam hati, “Ya ampun, hari ini kan jadwal buat jemput dia
di bandara. OMG dia pasti marah, haduh telat ini. Huffttt….”
Aku
mengabaikan panggilan itu, sudah kupastikan Marsha pasti akan marah besar.
Kulirik jam dinding klasik di sudut kamar menunjukkan tepat pukul 7 malam.
Bergegas aku mengambil kunci mobil yang tergeletak di meja. Kemudian aku
berlalu dengan sedan tua peninggalan almarhum Daddy.
Arah tujuanku adalah Bandara
Soekarno-Hatta. Tak jauh dari tempat parkir mobil, kutemukan seseorang yang
kucari. Perempuan muda, cantik, dan terlihat anggun mengenakan blazer merah dan
bersyal merah menatapku melotot. Segera kudekati perempuan itu.
“Satu
jam empat puluh lima menit! Hampir dua jam. You know?” dia mengomel.
“Maaf,
Sha. Penyakit lupa. Hahaha…” aku mencubit lengan perempuan itu.
Dia
menghela napas lega, kemudian meluncurkan senyuman manisnya padaku. Aku
membalas senyumnya dan membantunya membawa koper sampai ke mobil.
Sesampainya di rumah aku segera beranjak
ke kamar. Entah mengapa, aku selalu benci saat dia pulang, aku benci saat dia
bercerita dengan Bunda. Selalu dia yang dinomor satukan, selalu dia yang
diceritakan, jujur terkadang aku muak dengannya. Manja, itu yang sering kusebut
untuknya. Tapi Tuhan telah menakdirkan ini padaku. Dialah kakakku, saudara
kandungku, bagaimanapun juga dia adalah bagian hidupku. Sejak kecil Bunda
selalu lebih memanjakannya daripada aku, barangkali karena dia lebih cantik
atau dia pintar, sedangkan aku…
Aku
tidak jelek, aku juga cantik, bahkan wajah kami berdua nyaris mirip, hanya
rambut yang membedakan kami. Dia berambut setipe dengan Avrill Lavigne lurus
dan berwarna pirang sedangkan aku memiliki rambut setipe dengan Selena Gomes
sedikit mengombak dan berwarna hitam. Terdapat gen Eropa dalam tubuh kami.
Daddy kami berdarah Perancis.
Sejak
kecil aku lebih suka menghabiskan waktuku bersama Daddy, kupikir hanya Daddylah
yang mengerti aku, tak pernah membandingkan antara aku dan Marsha. Akulah
Elizabell Mouren, dan dialah Marsha Mouren.
Aku merasa mulai lelah, jam dinding
klasik disudut sana menunjuk pada pukul 1 dini hari. Kututup lembaran-lembaran
kertas penuh coretan hasil karyaku. Setelah aku menata rapi buku-bukuku, segera
kurebahkan tubuh ini di tempat tidur hingga akhirnya aku terjebak dalam mimpi
indahku…
***
“Bell….
Bell…Elizabell bangunlah…!” kudengar sayup-sayup suara Marsha memanggilku,
“Look at this! It’s a nice picture…”
Kupaksakan
diri untuk membuka mataku yang masih mengantuk, “Oh itu”, jawabku malas.
“It’s
Europa! Rumah kita benar-benar klasik.” Marsha mengarahkan jari telunjuknya
pada sebuah jendela yang terletak tepat di bawah atap, “Disinilah Daddy sering
menghabiskan waktunya, disinilah sekarang kita berada. …..”
Aku malas menanggapi semua celotehan
Marsha, aku menggapnya itu semua omong kosong. Dia tak tahu apa-apa tentang
Daddy! Jadi kupikir munafik jika dia bercerita sesuatu yang menyangkut
Daddy.
“Trip
to Paris?”
Hatiku
bergetar mendengar apa yang baru saja Marsha katakan. Aku langsung sigap
terbangun dari kemalasanku, kutarik album foto itu dari pangkuan Marsha.
“Oh…
Cuma iseng aja, Sha.” Aku menggaruk-garuk kepala, “Aku nemuin itu pas lagi
beres-beres ruangan ini, dulu sebelum aku mengubahnya menjadi kamar. Mungkin
tiket itu milik Daddy, aku menemukannya di sela-sela salah satu novel karya
Daddy yang berjudul Caroline. Aku
tidak hanya menemukan tiket pesawat ini saja, beberapa coretan tangan Daddy
juga kutemukan disini.”
“Caroline? Novel Daddy yang tokohnya
seorang wanita berdarah Perancis itu? Ah aku tidak yakin itu benar, aku tidak
begitu hafal dengan semua novel karya Daddy.” Balasnya ragu.
Aku
mengangguk.
Pagi
telah menyapaku. Rencananya siang nanti aku akan menemui editor dari sebuah
agen penerbit yang akan menerbitkan novelku. Masih dengan keadaan mengunyah
roti tawar dengan parutan keju, satu persatu kumasukkan data-data yang kubutuhkan
ke dalam tas pink favoritku. Aku menelusuri album foto dirak buku untuk
menunjukkan beberapa foto yang ingin aku tunjukan pada Marsha yang saat itu
masih berada di kamarku.
“Pasti
Daddy bangga dengannmu.” kata Marsha sambil terus membolak-balik foto-foto itu.
Aku
tersenyum.
“Apa
ini, Bell?” Marsha mengambil amplop coklat yang terselip diantara foto-foto itu.
Aku
bergegas melangkah mendekatinya, langsung kutarik amplop itu dari genggamannya.
Aku tidak akan membiarkan dia tahu apa isi amplop ini, “Oh ini, cuma surat
pemberitahuan dari kampusku, Sha.”
Marsha
memandangku curiga, segera kusodorkan beberapa album foto padanya untuk
membuatnya lupa dengan kecurigaannya.
***
Kulirik arloji yang melekat di
tangan kiriku, jarum pendek menunjuk angka 11 dan jarum panjang menunjuk angka
6. Satu jam lagi aku baru akan menemui editor novelku. Kurasa aku memiliki
cukup waktu untuk menemui dosen pembimbingku.
Aku kuliah di Universitas Indonesia
mengambil jurusan Ekonomi. Sangat melenceng dengan hobiku, menulis dan
fotografer. Tapi itu bukan masalah bagiku, buktinya novelis terkenal Andrea
Hirata, bukankan dia dulu juga seorang mahasiswa Ekonomi di Sourbonne
University di Perancis? Jadi kupikir mengapa tidak bagiku. Sejak kecil aku
sudah dapat dengan mudah membedakan antara hobi dan cita-cita. Cita-citaku
ingin seperti Sri Mulyani, dikenal dunia sebagai ahli ekonomi. Tapi saat ini
aku mempunyai sebuah cita-cita yang harus kucapai secepatnya.
Setelah beres dengan urusan
kuliahku, aku bergegas menemui editor novelku di tempat yang sudah kami berdua
janjikan. Rupanya aku terlambat lima belas menit.
“Hai
Bell… Congratulation! Kali ini novelmu best seller lagi.” Mbak Merry menjabat
tanganku.
“Semoga
novel terakhirku juga laris ya mbak.” kataku penuh keyakinan.
“Terakhir?”
tanyanya bingung, “Jadi, kamu jadi pergi ke Paris?”
“Why
not?” aku tersenyum lepas, “Itu cita-citaku saat ini mbak, secepatnya aku harus
ke Paris. Kurasa aku sudah mempunyai cukup uang untuk pergi ke sana. Aku sudah
mengatur paspor dan tiket pesawatku.”
“Lalu
kamu akan menetap disana? Bagaimana dengan para fans yang menunggu karya-karya
terbarumu? Dan bagaimana dengan….”
“Aku
tidak akan lama disana mbak.” aku menyela pembicaraan mbak Merry yang mulai
paranoid.
Mbak
Merry tersenyum lega.
***
Sore ini rumah terlihat sepi. Aku
tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Bunda dan Marsha. Aku sedikit acuh dengan
keberadaan mereka berdua. Kupijaki tangga menuju kamar, rasanya ingin segera
merebahkan tubuh ini. Kubuka pintu kamar cepat-cepat hingga terdengar suara
pintu yang terbanting secara tidak sengaja.
“Bunda?
Marsha?” sontak aku kaget dengan keberadaan mereka berdua di kamarku.
Oh
Tuhan, bodohnya aku! Seharusnya aku mengunci pintu kamarku. Marsha mempunyai
sifat kelewat penasaran dengan sesuatu yang kusembunyikan. Aku tak mau mereka
tahu….
Marsha
mendekatiku, “Apa ini Bell?”
Aku
menunduk takut, kulirik mata Bunda yang mengisyaratkan rasa keingin tahuan.
Leherku seperti tercekik.
“Elizabell!!
Apa ini?” Marsha menyodorkan amplop coklat tua yang selalu kuhindarkan dari
pandangannya.
“Jelaskan
semuanya sama aku!” Marsha membentak.
“Aku
tak tahu harus menjelaskannya dari mana.” Aku tertunduk, air mataku menetes,
bayangan Daddy terlintas di pikiranku, “Ini rahasia Daddy. Ini semua tentang
siapa Daddy sebenarnya. Bunda, sebenarnya Daddy masih mempunyai keluarga.
Hingga saat ini ibu Daddy masih hidup. Dialah Carolline. Bunda, maafkan Daddy
yang tidak bisa membawa kita semua bertemu dengan Carolline. Bukan maksud Daddy
membohongi Bunda. Bunda tahu kan, keluarga kita pernah mengalami krisis
ekonomi. Saat Daddy mulai sakit-sakitan, buku-buku Daddy mulai tidak laku di
pasaran. Sebenarnya keinginan terakhir Daddy adalah membawa kita semua ke Paris
untuk menemui Carolline. Surat ini, surat yang dikirimnya 5 tahun yang lalu
sesudah Daddy meninggal. Oma pikir Daddy masih hidup.”
Marsha
memandangiku dengan tatapan penuh tanda tanya. Bunda menangis, dan tanpa
kusadari aku juga meneteskan air mata.
“Lalu
kenapa? Kenapa kamu tidak memberitahukan ini padaku sejak dulu? Hah kenpa
Bell!?” Marsha menggoyang-goyangkan tubuhku.
“Aku
membencimu Sha! Aku membencimu! Kau egois! Apakah setelah aku memberitahukan
surat ini padamu kamu akan mengajakku dan Bunda pergi ke Paris? Tidak kan?
Pasti dengan keegoisanmu kamu akan pergi kesana sendiri.” Kutatap mata Marsha,
“Apa kamu tahu? Selama tiga tahun ini susah payah aku mengumpulkan uang untuk
membeli tiket pesawat ke Paris. Aku ingin kita bersama-sama kesana! Itu
cita-citaku saat ini!”
Bunda
mendekap erat tubuhku.
“Aku
sudah membeli tiga tiket pesawat ke Paris. Minggu depan sebelum tahun baru kita
akan terbang kesana.” kataku dengan suara yang mulai serak.
“Ta…
tapi, minggu depan aku akan mengadakan upacara kelulusanku di Australia. Dan
aku ingin Bunda menemani wisudaku.” kata Marsha lirih.
Aku
lemas, sendi-sendi lututku terasa tak berguna, aku berlutut diantara mereka
berdua, “Beginikah caramu menyakitiku!? Menghancurkan mimpiku!? Merusak warisan
Daddy?”
“Maafkan
aku, aku juga telah memesan tiket penerbangan ke Melbourne minggu depan.” Kata
Marsha tanpa merasa sedikitpun bersalah.
“Kau
memang egois Sha!” aku mendorong tubuhnya keluar dari kamarku.
“Sayang,
maafkan sikap kakakmu.” kata Bunda sambil membelai rambutku, “Bagaimana jika di
batalkan saja penerbanganmu ke Paris, kita tunda setelah upacara kelulusan
Marsha.”
“Aku
tidak bisa. Ini cita-citaku! Aku harus pergi kesana menemui keluarga Daddy. Aku
tak mungkin menunda keberangkatanku! Aku sudah mengirimkan surat kepada mereka.
Mana mungkin aku rela mengubur mimpi ini?” jawabku dengan suara yang hampir
habis.
Bunda
terdiam. Dia mengusap air mata yang membasahi pipiku, kemudian berlalu
meninggalkanku sendiri. Mimpi buruk untukku kejadian sore ini!
***
Seminggu
kemudian…
“Elizabell,
maafkan aku.” kata Marsha lirih.
Aku
mengangguk, kudekati Bunda. Memeluk tubuh Bunda dari belakang. Lima belas menit
lagi kami akan berpisah. Aku memutuskan untuk tetap pada pendirianku. Aku akan pergi
ke Paris tanpa Bunda dan tentunya juga Marsha. Kurelakan Bunda menemani upacara
kelulusannya. Keadaan hening. Keheningan kami terpecah oleh suara operator yang
mengingatkan para penumpang bahwa pesawat penerbangan dengan tujuan Paris akan
segera take off.
“Jaga
dirimu baik-baik ya nak, telpon Bunda sesampainya kamu disana. Sampaikan salam
Bunda kepada mereka semua.” sorot mata Bunda menyiratkan keyakinan padaku.
“Bun,
aku harus segera pergi.” aku mencium tangan bunda.
Bunda
mengecup kedua pipiku, “Jaga dirimu baik-baik ya nak, telpon Bunda sesampainya
kamu disana. Sampaikan salam Bunda kepada mereka semua.” sorot mata Bunda
menyiratkan keyakinan padaku.”
Kumelangkah
mendekati Marsha, “Congratulation of your graduated, Sha.”
Marsha
memeluk erat tubuhku. Kulepaskan pelukannya perlahan.
Aku berjalan menjauhi mereka.
Kulambaikan kedua tanganku pada Bunda dan Marsha. Syal putih yang melilit di
leherku melambai-lambai bahagia. Setelah melewati garbarata atau lebih sering dikenal airbridge, aku mencari tempat dimana aku duduk. Jantungku berdebar
kencang saat pesawat mulai melaju di landasan pacu untuk bersiap take off. Tepat pukul 6 pagi aku
meninggalkan Jakarta, meninggalkan Bunda dan Marsha, untuk menyambut harapan
Daddy. Sebentar lagi cita-citaku akan terwujud.
Aku
duduk disamping seorang lelaki muda yang ternyata dia seorang mahasiswa
Sourbonne University di Paris. Kebetulan bagiku, aku bisa menanyakan banyak hal
padanya. Dan ternyata dia sendiri yang menawarkan padaku untuk menjadi guide tourku. Siapa yang bisa menolak
mendapatkan guide tour gratis, pikirku. Kita berdua melakukan kesepakatan.
Tidak ada non-stop flight ke Paris,
jadi kami akan transit dahulu, jelasnya. Dari pesawat Garuda kami harus transit
di Singapore kemudian menaiki pesawat Lufthansa.
“Normalnya
perjalanan ke Paris sekitar 16-20 jam. Bersiaplah bermalas-malasan di pesawat.
Hehe…” kata lelaki muda itu padaku sesaat setelah kami transit di maskapai
penerbangan Lufthansa.
***
Pukul
10 malam pesawat kami landing di
salah satu bandara di Paris. Perjalanan kami termasuk cepat. Malam ini Paris
masih belum tidur. Setelah keluar dari bandara, Mario, lelaki muda itu
menawariku untuk mencari penginapan terlebih dahulu. Besok baru dia
mengantarkanku mencari rumah Carolline. Tapi aku menolak usul Rio, dia tak
marah padaku, malah dengan senang hati dia mengantarkanku mencari alamat
Carolline. Ternyata berdasarkan alamat yang kumiliki menunjukkan rumah
Carolline tidak begitu jauh dari Sourbonne University.
Tepat
di depan sebuah rumah besar, dengan bangunan klasik, hampir mirip dengan desain
rumahku, dia mengajakku menghentikan langkah. Dia meyakinkanku bahwa rumah
klasik di hadapan kami inilah rumah Carolline. Awalnya kaki ini ragu untuk
melangkah lebih dekat dengan rumah tua itu, tapi Mario terus mendesakku
sehingga membuatku yakin.
Aku
mengetuk pintu itu perlahan dengan tangan mungilku. Seorang gadis kecil membuka
pintu, dan di belakangnya diikuti dengan seseorang wanita tua.
“Hello, I’m Elizabell Mouren.” Aku menyambut
gadis kecil itu dengan senyuman.
“Mouren?”
dia memandangku aneh, “Grand ma, who is she?”
Seorang
nenek kini datang mendekatiku, “Elizabell Mouren… Bienvenue1....” Dia memelukku, membelai rambutku, dan
mencium pipiku. Dia, tak kusangka dengan mudah aku dapat menemukannya. Dia yang
selama ini menjadi cita-citaku, dialah yang dijanjikan Daddy, Carolline,
nenekku…
Kuceritakan semua perjuanganku dan
niatku untuk menemui mereka dengan bantuan Mario. Semua orang yang mendengar
ceritaku menyambut kedatanganku dengan ramah. Banyak orang baru yang kutemui
disini. Ada seorang lelaki yang wajahnya mirip dengan Daddy, dia adalah Franc
Mouren, adik Daddy dan ayah dari gadis kecil itu. Mereka menunggu kedatanganku.
Dan sekarang benar-benar tak kusangka aku ada bersama mereka.
Malam telah larut, Mario pamit untuk
kembali ke asramanya. Malam ini aku tidur bersama Rachel, gadis kecil itu.
***
Kamar Rachel berada di bawah atap
persis seperti kamarku. Kubuka jendela kamar. Kubiarkan embun pagi menyentuh
pipiku perlahan. Hangat. Kulihat Rachel masih tertidur pulas dibalik selimut
tebal. Dari jendela ini aku dapat melihat ujung menara Eiffel. Aku tersenyum
lebar….
Aku
ingin berteriak sekuat tenaga dengan senyuman termanisku.
Untuk
mimpiku yang akhirnya terwujud “Bonjour2
Paris….!”
Tamat
1
Bienvenue = selamat datang
2
Bonjour = selamat pagi
Subscribe to:
Posts (Atom)